Pages

Jumat, 02 November 2012

Definisi Sasi,Marga,Panglima Laut,Awig

* AWIG

Arti Awig-awig

Hukum adat termasuk awig-awig, pada umumnya tidak tertulis. Sekarang gencar dilaksanakan penyuratan awigawig, termasuk di desa kami. Pada awalnya, semuanya bersemangat menyuratkan awig-awig. Tetapi sekarang mulai mengendur. Salah satu faktor yang menyebabkan adalah adanya beberapa perbedaan pendapat dikalangan panitia mengenai ketentuan awig-awig yang tidak tertulis. Ada yang berpendapat awig-awig itu ketinggalan zaman, sehingga tidak perlu lagi dituangkan dalam bentuk yangtertulis. Pendapat lain mengatakan sebaiknya ditulis saja, mungpung lagi menulis awig-awig. Soal nanti ditinggalkan oleh masyarakat atau akan dipergunakan, itu urusan lain. Pertanyaan kami sebagai berikut:



1. Haruskan awig-awig itu ditulis?

2. Mulai kapan sebenarnya usaha penulisan awig-awig itu dilaksanakan?

3. Siapa yang memulai?

4. Bagaimana cara menulis awig-awig yang benar, untuk tidak menimbulkan berbagai permasalahan atau perdebatan?

5. Dan mana sebaiknya memulai kalau ingin menulis awig-awig?

6. Siapa yang perlu dilibatkan?

7. Apakah ada bantuan dan pemerintah?

8. Ada juga kèwajiban membuat awigawig kalau akan ikut lomba desa. Apakah ada perbedaan antara awigawig untuk lomba desa dengan awigawig desa yang bukan untuk lomba?

9. Pasupati awig-awig itu apakah keharusan?

10. Bagaimana membuat atau membahas batas desa? Apakah dapat dirumuskan sendiri?

11. Kalau mengenai cuntaka, apakah perlu dituangkan dalam awig-awig tertulis.

12. Apa hubungan Tim Pembina Penyuratan Awig-awig oleh Pemerintah Kabupaten dengan usaha penulisan awig-awig yang dilakukan oleh desa pakraman?

13. Kalau ada masalah dalam penulisan awig-awig, kemana harus berkonsultasi?

Beberapa pertanyaan di tadi, dikumpulkan dan beberapa surat masuk yang menanyakan mengenai tata cara penyuratan awig-awig. Kalau dijawab satu persaw, sebenarnya bisa saja, tetapi akan lebih banyak ruginya. Pertama, dapat membingungkan pembaca, karena kesannya tidak nyambung satu dengan yang lainnya. Kedua, akan merepotkan dalam menjawab, karena mau tak mau atau suka tak suka, akan ada pengulangan uraian. Untuk menghindari hal itu, maka sesudah seluruh pertanyaan dikumpulkan, kemudian dijawab secara total, dan awal sampai akhir proses penulisan awig-awig. Cara ini mengandung resiko, uraian atau jawaban kemungkinan tidak nyambung benar dengan pertanyaan, tetapi saya yakin kalau keseluruhan uraian dipahami, dengan sendirinya berarti pertanyaan di atas sebenarnya telah terjawab.

Perlu juga ditegaskan bahwa uraian akan disampaikan dalam tiga penerbitan Sarad. Selamat mengikuti uraian tentang “Awig-awig Desa Pakraman: Arti dan Tata Cara Penyuratannya”. Tulisan edisi 103 adalah satu dan tiga jawaban tentang penyuratan awig-awig.

Jawaban :

Sekarang banyak dilakukan usaha penyuratan awig-awig. Penyuratan awig-awig, berarti menuliskan awig-awig. Menyurat = menulis. Bukan berarti sebelumnva, tidak ada awig-awig tertulis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, ditemukan beberapa awig-awig yang terbilang kuno. Inilah beberapa contohnya.

• Desa Sibetan, Isaka 1300 (1378 Masehi).

• Desa Kubutambahan Isaka 1759.

• Desa Bungaya Isaka 1715.

• Desa Angantaka Isaka 1766.

• Desa Bukit Isaka 1728.

• Desa Ababi Isaka 1729.



Awig-Awig Sesudah 1900:

• Desa Pupuan, 1 Januari 1914.

• Desa Mengwitani, 1930.

• Desa Buleleng, Keputusan Kelian

Adat Buleleng Nomor 1 tahun 1972, disyahkan Bupati Buleleng dengan Surat Nomor : 27/Agm. 19/1/5 55 tgl 22 Maret 1972.



Awig-awig tertulis seperti dikemukakan di tadi, dilaksanakan atas inisiatif warga desa setempat. Itu sebabnya, bentuk atau formatnya, tampak berbeda satu dengan yang lainnya. Usaha penyuratan awig-awig mulai lebih terprogram dilaksanakan, sekitar tahun 1970- an. Dimulai dan diadakannya seminar hukum pertama oleh Fakultas Hukum Universitas Udayana. Secara keseluruhan, kalau diurut, tampak beberapa tonggak penting dalam usaha penyuratan atau penulisan awig-awig, seperti tertera di bawah ini:



o Dilaksanakannya seminar hukum I, tanggal 8-9 Sept 1969, FH UNUD, Denpasar.

o Terbentuknya MPLA,1979, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk. I Bali, No. 18/ Kesra/II/C/1 19/1979.

o Dikeluarkannya Perda Prop. Bali No 06/1986, 25-6-1986, tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

o Terbentuknya Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, 27-2-2004, di Wantilan Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar.



Sesudah seminar hukum I, tanggal 8-9 September 1969, Fakultas Hukum UNUD, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya beberapa contoh (imba) awig-awig tertulis. Hanya saja, yang mengeluarkan contoh tersebut bukannya Pemerintah Propinsi Bali seperti sekarang ini, melainkan Jawatan Agama Hindu (sekarang Kantor Wilayah Departeman Agama). Contoh awig-awig yang dikeluarkan menggunakan Bahasa Bali, formatnya sangat sederhana, dan lebih banyak memuat aturan mengenai tatanan kehidupan beragama bagi warga desa pakraman. Berikut dikemukakan beberapa contoh, seperti di bawah ini:



 Pada tgl 30-8-1971, “Tata Nuntun Miwah Midabdabin Desa Adat Ring Bali” (Jawatan Agama Hindu dan Budha Prop. Bali).

 Tahun 1973, “Imba Awig-awig Desa Adat Ring Bali” (jawatan yang sama).

 Pada tgl 12-15-7-1974, desa adat se-Kab. Badung mengadakan pesamuan (rapat).

 Tahun 1974, pembinaan dan penulisan awig-awig oleh Prop. Bali + FH & PM Unud, dilaksanakan di Kab. Badung, Gianyar, Bangli, dan Tabanan.

 Tahun l98l - 1982 di Kab. Klungkung, Karangasem, Jembrana dan Buleleng.



Apakah syarat-syarat pemekeran desa?

apakah syarat-syarat pemekeran desa dan bagaimana untuk menyusun struktural perangkatdalam persiapan pemerkaran desa dan bagaimana cara pemanfaatan aset atau pendapatandesa



6 bulan lalu

Tatacara Pembentukan Desa ....>> diatur dalam Permendagri No.28 tahun 2008tentang PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DANPERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHANSelanjutnya Pasal 4 dijelaskan bahwa Desa dibentuk atas prakarsa masyarakatdengan memperhatikan asal usul desa, adat istiadat dan kondisi sosial budayamasyarakat setempat. Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat dilakukan setelah mencapai usia penyelenggaraan pemerintahan desapaling sedikit 5 (lima) tahun.Pasal 5 Tatacara Pembentukan Desa adalah sebagai berikut:a.Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat antuk membentuk desa;b.Masyarakat mengajukan usul pembentukan desa kepada BPD dan KepalaDesa;c.BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usulmasyarakat tentang pembentukan desa, dan kesepakatan rapat dituangkandalam Berita Acara Hasil Rapat BPD tentang Pembentukan Desa;d.Kepala Desa mengajukan usul pembentukan Desa kepada Bupati/Walikotamelalui Camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD dan rencana wilayahadministrasi desa yang akan dibentuk;e.Dengan memperhatikan dokumen usulan Kepala Desa, Bupati/Walikotamenugaskan Tim Kabupaten/Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukanobservasi ke Desa yang akan dibentuk, yang hasilnya menjadi bahanrekomendasi kepada Bupati/Walikota;f.Bila rekomendasi Tim Observasi menyatakan layak dibentuk desa baru, Bupati/Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa;g.Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan desasebagaimana dimaksud pada huruf f, harus melibatkan pemerintah desa, BPD,dan unsur masyarakat desa, agar dapat ditetapkan secara tepat batas-bataswilayah desa yang akan dibentuk;h.Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentangPembentukan Desa hasil pembahasan pemerintah desa, BPD, dan unsurmasyarakat desa kepada DPRD dalam forum rapat Paripurna DPRD;i.DPRD bersama Bupati/Walikota melakukan pembahasan atas RancanganPeraturan Daerah tentang pembentukan desa, dan bila diperlukan dapatmengikutsertakan Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa j.Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang telah disetujuibersama oleh DPRD dan Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRDkepada Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah;k.Peryampaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa.

sebagaimana dimaksud pada huruf j, disampaikan oleh Pimpinan DPRD palinglambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama;1.Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagai:anadimaksud pada huruf k, ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak rancangan tersebut disetujui bersama; danm.Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desayang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada huruf 1, Sekretaris Daerah mengundangkan Peraturan Daerah tersebut di dalamLembaran Daerah.PENGGABUNGAN DAN PENGHAPUSAN DESAPasal 7(1)Desa yang karena perkembangan tidak lagi memenuhi syarat sebagaimanadimaksud dalam Pasal 3, dapat digabung dengan Desa lain atau dihapus.(2)Penggabungan atau penghapusan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat(1), terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh Pemerintah Desa dan BPD denganmasyarakat desa masing-masing.(3)Hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dalamKeputusan Bersama Kepala Desa yang bersangkutan.(4)Keputusan Ber'sama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)disampaikan oleh salah satu Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat.(5)Hasil penggabungan atau penghapusan desa sebagaimana dimaksud padaayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

materi referensi:

PERMENDAGRI NO. 28 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN,PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

Desa Adat sangat penting dalam kehidupan umat Hindu di Bali, hal itu disebabkan semua umat Hindu yang merupakan penduduk mayoritas di pulau Bali adalah anggota Desa Adat.. Dimana Desa Adat maupun Desa Pakraman agar memiliki Awig-awig (peraturan desa) tertulis, supaya ada kepastian tentang pelaksanaan awig-awig di Desa Adat dan Desa Pakraman. Maka dari itu awig-awig di dalam Desa Adat sangat diperlukan, karena di samping sebagai aturan-aturan pelaksana di dalam wadah dari kesatuan masyarakat hukum adat di Bali berdasarkan satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup yang diwariskan secara turun temurun dan diikat oleh falsafah Tri Hita Karana, dimana Desa Adat dan awigawignya sesuai dengan fungsi dan posisinya, akan selalu berperanan aktif dalam rangka menjaring nilai-nilai baru dalam pembangunan sehingga keberadaanya dan penerapannya mutlak diperlukan, khusunya dalam hal penerapan sanksi jika terjadi pelanggaran terhadap awig-awig oleh Krama Desa Adat Mengwi serta hambatanhambatan yang dialami dalam penerapannya tersebut di Desa Adat Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Propinsi Bali. Adapun pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana penerapan sanksi awig-awig Desa Adat dan hambatan-hambatan apa saja yang dialami terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama Desa Adat Mengwi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan sanksi awig-awig Desa Adat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama Desa Adat Mengwi dan untuk mengetahui hambatan-hambatannya dalam penerapan sanski awigawig Desa Adat terhadap pelanggaran di Desa Adat Mengwi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive random yaitu penarikan sampel bertujuan yang dilakukan dengan cara mengambil subjek didasarkan pada tujuan tertentu.Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, untuk dapat memberikan gambaran secara kualitatif tentang penerapan sanski Awig-awig Desa Adat dan Hambatannya terhadap pelanggaran oleh Krama Desa adat Mengwi dan bersifat deskriptif analisis yaitu dapat memberikan data atau gambaran penerapan sanksi pelanggaran awig-awig dan hambatan-hambatannya. Data primer dan data sekunder ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan lapangan dengan studi dokumen maupun pedoman wawancara Dari hasil penelitian menunjukan penerapan sanksi terhadap pelanggaran awigawig desa Adat tergantung dari pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan apa yang tercantum dalam awig-awig desa Adat Mengwi dengan mengutamakan penyelesaian secara kekeluargaan dan bijksana, baik berupa denda secara fisik atau denda dengan harta (meteriil). Dengan sosialisasi kepada warga desa secara terus menerus dan tindakan yang tegas baik perangkat desanya atau kepatuhan warga desanya maka hambatan-hambatan dalam penerapan sanksinya dapat diselesaikan dengan sebaikbaiknya.

Sesungguhnya, sudah lama orang-orang (pendatang) hadir di Bali, baik untuk tujuan menetap atau sekadar datang untuk sementara (musiman) karenamelakukan suatu perjalanan. Sejarah mencatat, rombongan Maharsi Markandyatelah datang ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangundesa-desa pakraman. Sejarah juga mencatat kedatangan orang-orang muslim yang”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yangkemudian dilokalisasi dikawasan tertentu, seperti sekarang dapat dilihat di Desa Saren (Buda Keling Karangasem), Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar).Sejarah kepariwisataan Bali juga mencatat pendatang-pendatang asing pertamayang datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman(1597), van Kol (1902), sampai kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan asingsetelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda

Koninklijk Paketvart Maatschapij

tahun 1920. Fakta-fakta sejarah tersebutmenunjukkan bahwa persoalan penduduk pendatang di Bali sesungguhnya bukanlah suatu hal yang baru.2Pada masa lalu, kehadiran pendatang-pendatang ke Bali barangkali belummenjadi suatu masalah. Tetapi, belakangan ini serbuan penduduk pendatangdengan beragam latar belakang, etnis, profesi, dan tujuan, telah menjadi permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di daerah perkotaan. Berbagai permasalahan kependudukan dengan dampak ikutannyaseperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, pengangguran, kriminalitas, prostitusi, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya telah mengganggukenyamanan orang Bali sendiri. Pemerintah sendiri tampaknya tidak bisa berbuat banyak untuk menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telahdilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartuidentitas khusus bagi penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yangcukup tinggi sampai langkah-langkah penertiban yang sudah sering dilakukan,tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi. Dalam kondisidemikian, orang mulai melirik kepada peranan desa pakraman dalam penanganan penduduk pendatang. Desa pakraman dengan awig-awignya sering dianggapsebagai ”dokter segala macam penyakit” yang dapat menangani segala macam persoalan yang terjadi diwilayahnya. Walaupun orang waras manapun pasti tidak setuju dengan anggapan tersebut, tampaknya masuk akal bila diadakan kajiankhusus mengenai bagaimana desa pakraman mengatur masalah penduduk pendatang. Kajian ini penting, sebab sesuai konsep ”wilayah Bali dibagi habisoleh wilayah-wilayah desa pakraman –kecuali pada kantung-kantung pemukimannon-Hindu” maka hampir 99% penduduk pendatang yang datang kewilayahProvinsi Bali dipastikan juga akan menjamah wilayah-wilayah desa pakraman.Tentu saja desa pakraman sangat berkepentingan untuk mengatur persoalan iniuntuk mewujudkan tujuan desa pakraman itu sendiri, yaitu

kasukertan desa sekalaniskala

(ketertiban dan ketentraman di desa)Tulisan berikut mencoba mengkaji kewenangan desa pakraman dalammengatur masalah penduduk pendatang dalam awig-awignya, model dansubstansi pengaturannya. Tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaandengan meneliti bahan-bahan hukum yang relevan, khususnya awig-awig desa pakraman yang ditelusuri dengan teknik bola salju.3

AWIG-AWIG DESA PAKRAMANAwig-awig sebagai Produk Hukum Desa Pakraman

Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional diBali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanyadan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah lakuyang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan danrasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19).Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awigadalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasitradisional Bali lain yang juga mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi petani lahan sawah) , subak abian(organisasi petani lahan tanah kering) , dan kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa sekaa, seperti sekaa teruna (organisasi pemuda),sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas kesamaan leluhur), dan sebagainya. Penting dikemukakan disini bahwa desa pakraman berbeda dengan desayang umum dikenal sebagai organisasi modern yang melaksanakan fungsiadministrasi pemerintahan negara di desa. Desa yang tersebut belakangan lazimdisebut sebagai desa dinas untuk membedakannya dengan desa pakraman yangmelaksanakan fungsi sosial religius dalam masyarakat desa. Kebetradaan dua bentuk pemerintahan desa ini sudah dimulai sejak jaman kolonial, bahkanembrionya sudah terbentuk sejak jaman kerajaan Bali-Majapahit (Hunger, 1982:6;Parimartha, 2003:3-4). Pemerintahan desa pakraman diselenggarakan oleh prajuru adat dipimpin oleh Bendesa, sedangkan pemerintahan desa dinasdiselenggarakan oleh Pemerintahan Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Produk hukum desa dinas disebut “peraturan desa” yang termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan RI, dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD(Sudantra, 2007:84). Produk hukum desa pakraman disebut awig-awig desa pakraman yang termasuk dalam jenis hukum tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan RI (hukum adat), yang dibuat secara musyawarah mufakatoleh kerama desa pakraman melalui sebuah paruman desa

(rapat desa). Dengan4demikian, sudah dapat dibedakan dengan jelas perbedaan antara pengertian istilah“peraturan desa” dengan istilah “awig-awig desa pakraman” sehingga keduaistilah tersebut tidak boleh dikacaukan dalam penggunaannya. Kalau landasan hukum Pemerintahan Desa dalam menetapkan peraturandesa sudah jelas diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 32Tahun 2004, kini timbul pertanyaan: apa landasan kewenangan desa pakramanuntuk membuat awig-awig?Sesungguhnya kewenangan desa pakraman dalam membuat awig-awigmempunyai landasan hukum yang kuat, disamping karena bersumber darikodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan Negara.Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau terbentuknya desa pakraman telah berwenang mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman yang bersangkutan Dalam struktur kenegaraan RI, keberadaan desa pakramanmendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukumadat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam undang-undang”Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada diBali. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakramansebagaiomana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1 angka (4) yang menyatakansebagai berikut:”Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Baliyang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidupmasyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tigaatau kahyabngan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaansendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”5Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD1945 keberadaan desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya diakui dandihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa pakraman adalah membuatawig-awig, disamping menyelenggarakan pemerintahan sendiri.



* SASI

Adat Sasi adalah sebuah kebudayaan negeri Maluku yang diwariskan oleh nenek moyang orang Maluku sejak berabad-abad lalu. Seiring perkembangan jaman kegiatan adat sasi masih tetap dilestarikan oleh masyarakat di tanah raja-raja ini.

Adat Sasi merupakan sebuah perintah larangan untuk mengambil hasil baik hasil pertanian maupun hasil kelautan sebelum waktu yang ditentukan. Hal ini dilakukan agar ketika datang waktu panen atau waktu diperbolehkan untuk mengambil, hasil pertanian atau kelautan dapat dipanen bersama-sama sehingga masyarakat benar-benar merasakan hasil kerja keras yang mereka lakukan.

Apapun caranya asalkan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, namun kenyataan yang terjadi dilapangan banyak masyarakat yang mengeluh dengan diberlakukan adat sasi. Bagaimana tidak hasil yang mereka miliki tidak diperkenankan untuk diambil sebelum waktunya dilain sisi pencurian yang terjadi tidak mengenal waktu.

Hal inilah yang menjadi perbincangan masyarakat karena ketika mereka mengambil sendiri hasil yang mereka miliki akan dikenakan sanksi adat yang sangat memberatkan, namun ketika hasil mereka kehilangan pihak pemerintah negeri tidak bertanggung jawab. Selain itu desakan ekonomi yang semakian tinggi membuat kegiatan produktifitas masyarakat menjadi tidak tertur. Kebanyakan kegiatan yang mereka lakukan disesuaikan dengan permintaan pasar sehingga mendorong sebagian masyarakat untuk panen sebelum waktunya.

Petikan diatas inilah yang menjadi pertimbangan kemanakah kegiatan adat sasi ini kita bawa. Haruskah kegiatan adat sasi ini disesuaikan dengan perkembangan jaman, salah satu contoh di Pulau Seram tepatnya Negeri Tamilouw Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah. Sistim sasi yang diberlakukan di Negeri Tamilouw mungkin juga telah dilakukan di negeri-negeri lain di Maluku. Sistim sasi ini sangat memudahkan bagi masyarakat karena masyarakat diberikan kebebasan untuk memanfaatkan hasil usaha mereka sesuai kebutuhan asalkan syarat sasi tetap dipenuhi. Syarat yang ditentukan pada kegiatan sasi di Negeri Tamilouw yaitu bila masyarakat hendak panen hasil perkebunan mereka sebelum waktu buka sasi, maka diwajibkan membayar harga sasi untuk negeri sesuai dengan ketentuan adat.

Sistem seperti ini memungkinkan masyarakat untuk memanen hasil mereka sesuai dengan kebutuhan. Hal ini berbeda dengan kegiatan sasi di Negeri Wollu dan beberapa negeri di Kecamatan Tehoru yang melarang keras setiap masyarakat yang hendak panen sebelum waktu buka sasi tiba. Barang siapa ketahuan panen sebelum waktunya maka akan dikenakan sanksi adat. Cara ini dirasakan oleh sebagian masyarakat sangat memberatkan karena kebutuhan mereka yang semakin meningkat. Sebagai contoh kebutuhan pendidikan anak yang tidak mengenal waktu. Namun bila menggunakan sistim sasi sebagaimana sistim sasi yang dipergunakan masyarakat di Negeri Tamilouw pasti akan terasa lebih mudah.

Dari patokan inilah dapat disimpulkan bahwa adat sasi akan terasa manfaatnya bagi masyarakat bila sistemnya diatur sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karena kebutuhan ekonomi masyarakat satu dengan yang lainya tidaklah sama (BS).

Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat.

Sasi memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat (Saniri; di Haruku disebut Saniri'a Lo'osi Aman Haru-ukui, atau "Saniri Lengkap Negeri Haruku"). Keputusan kerapatan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang, yakni suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan peraturan sasi tersebut.
Lembaga Kewang di Haruku dibentuk sejak sasi ada dan diberlakukan di desa ini. Struktur kepengurusannya adalah sebagai berikut:

1. Seorang Kepala Kewang Darat;
2. Seorang Kepala Kewang Laut;
3. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;
4. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;
5. Seorang Sekretaris
6. Seorang Bendahara
7. Beberapa orang Anggota.



Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut warisan atau garis keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban:

(a) mengamankan Pelaksanaan semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar;

(b) melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang melanggarnya;

(c) menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam wilayah sasi;

(d) memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi; serta

(e) menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi tersebut.

Di negeri Haruku, dikenal empat jenis sasi, yaitu:
1. Sasi Laut;
2. Sasi Kali;
3. Sasi Hutan;
4. Sasi dalam Negeri.



*MARGA

Marga atau nama keluarga adalah nama pertanda dari keluarga mana seorang berasal.[rujukan?] Marga lazim ada di banyak kebudayaan di dunia.[rujukan?] Nama marga dalam kebudayaan Barat dan kebudayaan yang terpengaruh oleh budaya Barat umumnya terletak di belakang, sehingga sering disebut dengan nama belakang.[rujukan?] Kebalikannya, budaya Tionghoa dan Asia Timur lainnya menaruh nama marga di depan.[rujukan?] Ada juga kebudayaan yang dulunya tidak menggunakan marga, misalnya suku Jawa diIndonesia[rujukan?], walapun kini sudah ada yang mengadopsi nama dalam keluarganya.[rujukan?] Dalam sistematika biologis, marga digunakan bergantian untuk takson 'genus'[rujukan?].

Marga dalam Suku Batak

Marga menjadi identitas dalam masyarakat dan adat. Marga diturunkan dari ayah kepada anak-anaknya (patriarchal).[1] Marga turun-temurun dari /jika Batak maka oppu/kakek kepada ama/bapak, kepada anak, kepada pahompu/cucu, kepada nini/cicit dst.[1]. Marga lebih sering digunakan daripada nama, biasanya nama disingkat saja, contoh: Hamonangan Marbun lebih sering menjadi H. Marbun.[2]

Teman semarga (satu marga) di sebut “dongan tubu/golongan-golongan seperut” atau satu keturunan, yang ikatan persekutuanya secara terus menyatukan diri dalam komunitas marganya, [3]. Contoh: persekutuan marga Marbun, persekutuan marga Sihite Se-Jabodetabek dll.[2] Menurut adat orang batak setiap orang harus mengenal silsilah/tarombo marganya sendiri (marga dan nomor urut dari silsilah marga tersebut), selain itu ia juga wajib mempelajari silsilah marga istrinya.[2]. Karena prinsipnya semua orang yang semarga dengan istrinya adalah hula-hula/semarga dengan istri, supaya ia tahu dan memahami di mana kedudukanya.[4] Adalah hal yang memalukan jika menyalahi ketentuan adat, seperti memerintah hula-hula mengerjakan sesuatu yang harus dikerjakan boru (ibu)-nya.[4].

Marga (marga) adalah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara, sedarah, seketurunan menurut garis bapak, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama di tanah asal atau tanah leluhur. Misalnya : Lamhot Simamora. Lamhot adalah nama kecil atau nama pribadi, sedangkan Simamora adalah nama warisan yang telah diterimanya sejak ia masih dalam kandungan ibunya, yaitu nama kesatuan atau persekutuan keluarga besar Simamora.

Dasar pembentukan marga adalah keluarga, yaitu suami, istri, dan putra-putri yang merupakan kesatuan yang akrab, yang menikmati kehidupan bersama, yaitu kebahagiaan, kesukaran, pemilikan benda, serta pertanggungjawaban kelanjutan hidup keturunan. Untuk melestarikan ikatan keluarga dan kekeluargaan, diadakan ruhut (peraturan) sebagai berikut :

a. Ruhut papangan so jadi pusung

Yaitu peraturan makan bersama. Ruhut = peraturan, papangan = cara makan, so jadi pusung = tidak boleh makan sendiri. Berdasarkan ketentuan ini, maka pada setiap upacara adat yang disertai makan bersama, adalah suatu keharusan untuk mengundang dongan sabutuha atau saudara semarga (keluarga, kerabat, atau keluarga-keluarga semarga). Semua anggota dongan sabutuha harus mendapat jambar (bagian) secara resmi dari hidangan yang tersedia, terutama hidangan berupa juhut (daging). Banyaknya keluarga yang diundang atau luasnya undangan tergantung pada besar-kecilnya pesta atau upacara adat yang diselenggarakan. Dalam hal ini, berlaku sistem utusan yang disebutontangan marsuhu-suhu, yaitu undangan utusan atau wakil dari keluarga-keluarga secara bertingkat, mulai dari Ompu dan seterusnya hingga tingkat marga dan cabang marga, menurut daftar tarombo (silsilah) marga yang bersangkutan. Undangan dan pembagian jambar diatur sedemikian rupa sehingga benar-benar mencakup seluruh keluarga dalam lingkungan marga.

Sanksi terhadap pelanggaran hukum tersebut tersimpul dalam peribahasa yang mengatakan “Panghuling tos ni ate, papangan hasisirang.”Maksudnya, ucapan yang menyinggung perasaan dapat mengakibatkan rusaknya hubungan pergaulan; pelanggaran terhadap peraturan makan bersama dapat mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan atau kemargaan.
b. Ruhut bongbong

Yaitu peraturan yang melarang perkawinan dalam satu marga. Bongbong = pagar atau penghalang yang tak boleh dilewati. Bagi masyarakat semarga, berlaku ketentuan “Si sada anak, si sada boru”. Maksudnya, mempunyai hak bersama atas putra dan putri. Pelanggaran terhadap hukum tersebut akan membawa risiko yang berat, bahkan dapat mengakibatkan lahirnya marga baru.
Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan di atas, maka dalam hidup persekutuan atau pergaulan semarga, telah digariskan sikap tingkah laku yang harus dianut, yang disebut dengan ungkapan “Manat mardongan tubu”. Maksudnya, haruslah berhati-hati serta teliti dalam kehidupan saudara semarga.
Fungsi marga adalah sebagai landasan pokok dalam masyarakat Batak, mengenai seluruh jenis hubungan antara pribadi dengan pribadi, pribadi dengan golongan, golongan dengan golongan , dan lain-lain. Misalnya, dalam adat pergaulan sehari-hari, dalam adat parsabutuhaon, parhulahulaon, dan parboruon (hubungan kekerabatan dalam masyarakat Dalihan Natolu), adat hukum, milik, kesusilaan, pemerintahan, dan sebagainya.

Tujuan marga adalah membina kekompakan dan solidaritas sesama anggota marga sebagai keturunan dari satu leluhur. Walau pun keturunan suatu leluhur pada suatu ketika mungkin akan terbagi atas marga-marga cabang, namun sebagai keluarga besar, marga-marga cabang tersebut akan selalu mengingat kesatuannya dalam marga pokoknya. Dengan adanya keutuhan marga, maka kehidupan sistem kekerabatan Dalihan Natolu akan tetap lestari.





*PANGLIMA LAUT

Jatidiri bangsa Indonesia adalah masyarakat agraris dan bahari. Kondisi bentang alam Indonesia, baik secara topografis maupun geografis, telah membentuk pluralisme budaya dan karakter masyarakat Indonesia yang tercermin melalui ragam suku, bahasa dan adat-istiadat. Perpaduan dan pergulatan antara kondisi alam dengan nilai-nilai kepercayaan dan ketuhanan yang universal telah membangun berbagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang dinamis dan memungkinkan nilai dan praktik pengelolaan sumberdaya alam ditentukan dan dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan dan keadilan antar generasi.

Salah satu yang menonjol dan menarik perhatian masyarakat perikanan dunia adalah keberadaan dan kelembagaan adat Panglima Laot Lhok di Aceh.

Lhok dalam artian kata dapat dipadankan sebagai teluk(an). Secara terminologi atau istilah merupakan sebuah wilayah yang didiami oleh sekelompok nelayan serta dipimpin oleh seorang yang dipilih dan dituakan untuk memimpin wadah masyarakat nelayan (Panglima Laot Lhok). Setiap Panglima Laot Lhok memiliki wilayah kelola laut penangkapan dan tempat pendaratan ikan (di wilayah pantai atau pesisir).



Lhok secara empiris dapat berupa teluk(an), muara, tepian pantai ataupun terusan-yang lebih menjorok ke arah darat. Dibeberapa kawasan lhok di Aceh yang nelayannya relatif tersebar, dijumpai juga terminologi Panglima Teupin yang tunduk kepada Panglima Laot Lhok. Saat ini di Aceh terdapat kurang lebih 193 Lhok.

Panglima Laot Lhok merupakan wadah sekaligus basis masyarakat nelayan lokal untuk membangun kesepakatan bersama dalam mengatur dan mengawasi pelaksanaan norma dan ketentuan tata-cara pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan.

Meskipun daya pengaruh dan wewenang Panglima Laot Lhok cenderung tergerus oleh perkembangan sosial-politik dan modernisasi di bidang perikanan, tetap saja hingga saat ini Panglima Laot Lhok merupakan sebuah entitas dan identitas masyarakat pesisir Aceh yang keberadaan dan peranannya tidak terbantahkan dalam pengembangan perikanan yang lebih berkeadilan dan lestari di Aceh.

Panglima Laot Lhok adalah salah satu bentuk dan bukti sejarah bangsa Indonesia yang masih hidup dan perlu untuk direvitalisasi sekaligus direposisi agar peran dan fungsinya akan terus strategis dan kontekstual dengan perkembangan perikanan di tingkat lokal, nasional maupun regional (Asia Selatan dan Asia Tenggara).

Sejalan dengan itu, Indonesia saat ini terus berjuang, membenahi sektor perikanannya agar mampu menjadi solusi jangka panjang bagi keseimbangan ekonomi, keberlanjutan sumberdaya lingkungan dan kesejahateraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir yang notabene direpresentasikan dari kelompok-kelompok nelayan tradisional dan petambak skala kecil yang sebagian besar masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

Sementara itu sebuah ironi masih terus terjadi. Maraknya armada dan cara penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dan penghancuran ekosistem pesisir dan laut telah dan tetap menjadi bagian yang hampir tidak mungkin kita tutupi. Fenomena ini menjadi sebuah gambaran nyata bahwa negara dan masyarakat kita sudah sangat terjebak dan masih berkompromi (jika tidak ingin disebut kalah) dengan kepentingan-kepentingan pemodal dan korporasi hitam yang tidak mau mengenal dan menghargai nilai-nilai kearifan lokal dan keadilan sosial.

Sebuah keniscayaan. Tantangan dalam membangun perikanan Indonesia yang berkelanjutan akhirnya tidak hanya bagaimana mencari terobosan agar ironi yang mendera perikanan kita tidak terus berlanjut akut. Atau hanya cukup mempersiapkan instrumen kebijakan yang lebih pro pada pentingnya upaya-upaya menjaga keseimbangan dan daya dukung lingkungan.

Tetapi juga bagaimana melahirkan dan mengejawantahkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ditegakkan oleh masyarakat pesisir itu sendiri melalui identitas dan entitas adat yang dimilikinya. Semisal di Aceh lewat penguatan kembali Hukum Adat Laot dan Panglima Laot, sebagai perisai (baca: kontrol) sosial yang dapat efektif dalam mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan. Inilah semangat perikanan nusantara yang perlu dan penting terus ditumbuhkan dan dikembangkan, “dari Sabang sampai Merauke”.

Nah, berita baik dan menjadi harapan. Sebagian besar dari kita saat ini sudah bertindak dan bergerak pada berbagai kerangka-kerja (framework) yang saling sejalan untuk mewujudkan perikanan yang Indonesia yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan. Banyak hal telah dilakukan dan tentunya perlu berkala dievaluasi untuk melihat langkah-langkah prioritas dan intervensi kedepan yang perlu ditempuh dan dikawal.

Baru-baru ini, Wildlife Conservation Society dan James Cook Universitymelakukan studi terhadap terumbu karang di Aceh. Menurut studi yang diterbitkan pada majalah Oryx edisi Oktober 2012 ini, terumbu karang Aceh dirawat dengan praktek tradisional berbasis kearifan lokal yang sudah berumur 400 tahun.

Tradisi ini dikenal dengan nama Panglima Laot. Sistem tradisional ini bertujuan mengutamakan keharmonisan sosial dan mengurangi potensi konflik antar komunitas dalam pemanfaatan sumber daya laut.

“Such mechanisms to reduce conflict are the key to success of marine resource management, particularly in settings which lack resources for enforcement.”
-Stuart Campbell, Wildlife Conservation Society

Sistem Panglima Laot melarang penggunaan alat penangkapan ikan yang merusak, seperti jaring, untuk mempertahankan keutuhan terumbu karang. Dengan ini, penduduk diuntungkan dengan hasil tangkapan ikan delapan kali lebih banyak dari hasil tangkapan biasa.

Studi melaporkan bahwa Panglima Laot menekankan prinsip-prinsip utama yang berasosiasi dengan institusi-institusi perikanan besar. Sistem ini memiliki fungsi keanggotaan; regulasi yang membatasi ekploitasi sumber daya alam; hak bagi para pengguna sumber daya alam untuk membuat, menekankan dan mengubah regulasi serta memberi sanksi; dan mekanisme resolusi konflik. Melalui prinsip-prinsip tersebut, Panglima Laot bertujuan mengurangi konflik antar komunitas, menerapkan pengelolaan berkelanjutan pada sumber daya laut dan mengurangi kerusakan pada habitat laut.

“The guiding principle of Panglima Laot was successful in minimizing habitat degradation and maintaining fish biomass despite ongoing access to the fishery. Such mechanisms to reduce conflict are the key to success of marine resource management, particularly in settings which lack resources for enforcement.” jelas Stuart Campbell dari Wildlife Conservation Society.



















“Panglima Laot” diterapkan pada sistem pengambilan sumber daya laut di Aceh. - Marine Buddies

Kendati tradisi ini telah diterapkan selama empat abad silam, keberadaan institusi berbasis Panglima Laot belum bisa disimpulkan sukses pada semua wilayah Aceh. Beberapa lokasi ditemukan memiliki kondisi terumbu karang yang mengenaskan akibat penerapan Panglima Laot yang kurang dikelola dengan baik.

“No-take fishing areas can be impractical in regions where people rely heavily on reef fish for food.” ungkap Campbell. Beberapa daerah sangat bergantung pada konsumsi ikan karena kurangnya komoditas pertanian di daerah tersebut.

Studi melaporkan bahwa nelayan dengan tingkat pendapatan dan partisipasi institusi lebih rendah mengalami krisis kepercayaan dengan institusi lokal dan kurang terlibat dalam program pengembangan masyarakat. Karena itu, Panglima Laot kurang diterapkan dan aktivitas perikanan tidak terkontrol.

Sementara itu pada daerah-daerah dengan sistem Panglima Laot yang lebih kuat, tingkat kesejahteraan nelayan terbukti lebih tinggi akibat jumlah penangkapan ikan yang besar. Luas penutupan terumbu karang juga lebih tinggi.

Saat ini, tim studi sedang menginvestigasi faktor-faktor yang menyebabkan gagalnya penerapan Panglima Laot di beberapa daerah. Survey juga dilanjutkan dalam skala geografis yang lebih luas. Dibutuhkan waktu lebih banyak untuk menyelesaikan studi tersebut.

Secara umum, Panglima Laot di Aceh memetakan peran dan fungsinya dalam empat hal, yaitu:
Melestarikan hukum adat,
Melestarikan adat istiadat,
Melestarikan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat nelayan di Aceh,
Membantu pemerintah dalam pembangunan perikanan bila diminta.


Dalam melaksanakan fungsinya, Panglima Laot mempunyai tugas:
Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan Hukom Adat dan Adat Laot,
Mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut,
Menyelesaikan persilisihan/sengketa yang terjadi diantara sesama anggota nelayan atau kelompoknya,
Mengurus dan menyelenggarakan upacara Adat Laot,
Menjaga/mengawasi agar pohon-pohon di tepi pantai jangan ditebang, karena ikan akan menjauh ke tengah laut,
Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan panglima laot dengan panglima laot lainnya,
Meningkatkan taraf hidup kehidupan nelayan pesisir.



Pada masyarakat pesisir atau nelayan terdapat sebuah institusi lokal yaitu lembaga panglima laot yang merupakan suatu struktur adat yang membidani masalah kehidupan yang berhubungan dengan kehidupan para nelayan.lembaga panglima laot yang ada di kalangan masyarakat nelayan ini bertugas memimpin persekutuan adat pengelola hukum adat laot. hukum adat laot ini dikembangkan dengan nilai-nilai keislaman yang sangat kental,melaksanakan ketentuan-ketentuan adat dan mengelola upacara-upacara adat yang berhubungan dengan kehidupan kenelayanan, Mengatur tata cara penangkapan ikan dan waktu penangkapan ikan,dan menyelesaikan perselisihan antar nelayan serta menjadi penghubung dengan pemerintah daerah.

Struktur adat panglima laot mulai diakui keberadaannnya dalam tatanan kepemerintahan daerah sebagai organisasi atau lembaga kepemerintahan tingkat tingkat desa di kabupaten aceh besar pada tahun 1977 ( surat keputusan bupati aceh besar no 1/1977 tentang struktur organisasi pemerintahan di daerah pedesaan aceh besar ).akan tetapi fungsi peran serta kedudukannya belum dijelaskan secara detail dalam penetapan tersebut,baru pada tahun 1990, pemerintahan provinsi daerah istimewa Aceh mengeliuarkan peraturan daerah no 2/1990 tentang pembinaan dan pengembangan adat istiadat,kebiasaan-kebiasaan masyarakat beserta lembaga adat, yang menyebutkan bahwa panglima laot adalah orang yang memimpin adat-istiadat,kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan di laut.

Panglima laot berada di luar struktur organisasi pemerintahan.tetapi berada langsung dibawah kepala daerah setempat ( Gubernur, Bupati, Camat, dan Kepala Desa/geuchik ). Wilayah kewenangan seorang panglima laot tidak mengacu pada wilayah administrasi pemerintahan,melainkan mengacu pada satuan lokasi tempat nelayan melabuhkan perahunya,menjual hasi tangkapannya atau berdomisili yang biasa disebut lhok.

Seorang panglima laot biasanya seorang yang kharismatik dan memiliki sikap bijaksana serta memiliki keahlian dan pengalaman yang lebih dibandingkan dengan nelayan lain dalam bidang kelautan sehingga menjadi tokoh panutan dan disegani oleh masyakat nelayan. selain daripada itu seorang panglima laot biasanya tidak lagi pergi melaut, tetapi tetap di darat agar dapat fokus dalam menjalankan tugasnya sebagai Panglima Laot.

Berdasarkan pemaparan diatas penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pola penyelesaian konflik pada masyarakat nelayan berdasarkan peran dan fungsi panglima laot.

Menurut horton dan Hunt( 1987 ), yang dimaksud dengan pranata sosial atau lembaga sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting. Dengan kata lain pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengedepankan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok masyarakat.

Kontjaraningrat mengatakan pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan yang berpusat kepada aktifitas-aktifitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan pokok manusia pada dasarnya mempunyai fungsi yaitu :

1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat,bagaimana mereka bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan

2. Menjaga keutuhan masyarakat

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengendalikan sistem pengendalian sosial ( social control ). Artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.

Norma-norma yang ada dalam masyarakat, mempunyai kekuatan yang mengikat dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda.untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma tersebut, secara sosiologis dikenal dengan adanya empat pengertian yaitu :

1. Cara (usage)

Cara atau usage lebih menonjol didalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadaptnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat,tetapi hanya celaan dari individu lain

2. Kebiasaan (folkways)

Kebiasaan atau folkways mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulangdalam bentuk yang sama. Merupakan bukti bahwa banyak orang menyukai perbuatan tersebut.

3. Tata kelakuan (mores)

Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusiayang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya

4. Tata kelakuan yang kekal serta kuatnya integrasi dengan polaprilaku masyarakat, dapat meningkat kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat istiadat. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita saksi yang keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukan.



Adapun ciri-ciri umum dari lembaga kemasyarakatan yang diungkapkan oleh Gillin dan Gillin dalam karya mereka General faeture of social institutions adalah sebagai berikut :

1. Suatu lembaga masyarakat adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola prilaku yang terwujud melalui aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan hasilnya.

2. Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan, baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan dalam jangka waktu relatif lama.

3. Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. Mungkin tujuan tersebut tidak sesuai atau sejalan dengan fungsi lembaga bersangkutan.

4. Lambang-lambang biasanya juga merupakan ciri khas dari lembaga kemasyarakatan.

5. Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti: mesin,bangunan.peralatan dan lain-lain

6. Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulisan ataupun yang tidak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku dan lain-lain.

Didalam pranata sosial mengandung unsur norma dan nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh semua masyarakatnya. Norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma tersebut mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu untuk berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasan dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat, norma tersebut tunbuh dan akan memperkuat masyarakat itu sendiri dan merangsang berlangsungnya kohesifitas sosial.

Struktur organisasi panglima laot mulai ditata pada mustawarah panglima laot se nanggroe Aceh Darussalam di Banda Aceh pada juni 2002. Seperti yang telah disebutkan diatas, struktur panglima laot terdiri dari panglima di tingkat lhok, disingkat panglima lhok yang bertanggung jawab menyelesaikan konflik atau sengketa nelayan di tingkat lhok, bila perselisihan tersebut tidak selesai di tingkat lhok, maka diajukan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu panglima laot kabupaten. Yang disebut panglima laot Chik atau Chik Laot. Selanjutnya bila perselisihan mencakup antar kabupaten , provinsi ataau bahkan internasional, maka akan diselesaikan di tingkat propinsi oleh Panglima Laot propinsi.

Secara umum fungsi panglima laot meliputi 3 hal,yaitu: mempertahankan keamana dilaut, mengatur pengelolaan sumber daya di laut dan mengatur pengelolaan lingkungan laut. tata cara penangkapan ikan dilaut ( meupayang ) dan hak-hak persekutuandi dalam teritorial lhok,diatur dalam hukum adat laot, yang pelaksanaanya dilakukan oleh panglima laot sebagai pemimpin masyarakat adat.

Menurut dahrendorf (1958, 1959) masyarakat mempunyai 2 wajah yaitu konflik dan konsensus. Teotirisi konsensus harus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoterisi konflik menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu

Posisi tertentu dalam masyarakat didalam masyarakat mendelegasikan kekuasan dan otoritas terhadap posisi yang lain, sehingga distribusi otoritas selalu menjadi Faktor yang menentukan konflik sosial sistematis.

Dahrendorf mengutarakan beberapa aspek yang sangat menentukan dalam teori konfliknya antara lain :

Otoritas

Menurutnya Otoritas tidak terletak didalm individu melainkan di dalm posisi tersebut. Dan mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan,artinya mereka berkuasa karena diharapkan dari orang yang berada di sekitar mereka,bukan karena ciri-ciri psikologis mereka. Seperti otoritas,harapan ini bukan pada orangnya melainkan pada perannya atau posisinya.

Kelompok,konflik dan perubahan

Menurut dahrendorf ada tiga tipe utama kelompok

1. Kelompok semu (quasi group )

yaitu sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama.

2. Kelompok kepentingan

Yaitu agen utama dari konflik kelompok yang memiliki struktur bentuk organisasi,tujuan, atau program dan anggota perorangan.

3. Kelompok konflik

Yaitu orang-orang yang terlibat secara aktual dengan konflik yang terjadi.

Konsep kepentingan tersembunyi, kepentingan nyata, kelompok semu, kelompok kepentingan, dan kelompok-kelompok konflik adalah konsep dasar dasar untuk menerangkan konflik sosial.

Dahrendorf juga mengutarakan sesegera setelah munculnya kelompok konflik, kelompok tersebut akan melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial tersebut. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal.bila konflik terjadi disertai dengan kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba.

Masyarakat nelayan yang berada dibawah pimpinan panglima laot sesungguhnya bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari berbagai kelompok. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan.

· Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya

· Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain.

· Nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.

Pada kelompok tersebut peluang untuk terjadinya konflik sangatlah besar karena masing-masing kelompok mempunyai tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda, walaupun pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang sama yaitu mencari nafkah di laut.

Konflik merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,dimnapun , kapanpun dan siapapun. Hal ini disebabkan oleh karakter manusia yang ingin menguasi sesuatu dalam kehidupannya.

Karakteristik masyarakat nelayan yang berbeda yang pada umumnya berkarakter keras yang disebabkan karena kehidupannya yang keras dan menghabiskan waktunya di lautan lepas,sehingga terkadang sifat tersebut terbawa-bawa ketika mereka berbaur dengan masyarakat umum, oleh karena itu sifat yang keras ini sangat berpotensi untuk menciptakan konflik atau perselisihan di antra masyarakat nelayan, konflik ini dapat berupa pengelolaan kekayaan alam antar nelayan srta dalam pembagian hasil tangkapan dll.

Konflik ini biasanya diselesaikan secara bersama-sama dengan panglima laot sebagai penengahnya, disamping perangkat-perangkat desa lain seperti Geuchik, tuha peut,tuha lapan,imum syik dan lain-lain.

Biasanya Apabila konflik tersebut terjadi pada ruang lingkup lhok, maka penyelesaiaanya akan dilakukan pada tingkat panglima lhok, namun apabila tidak dapat diselesaikan maka akan dibawa ke panglima laot tingkat kabupaten dan apabila tidak juga dapat diselesaikan di tingkat kabupaten, maka kan di selesaikan pada panglima laot tingkat provinsi.

Para nelayan yang daya jangkauan melautnya yang luas sehingga terkadang melalui daerah Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) yang berada pada 12 mil laut dari pantai dan terdampar didaerah luar negeri dan akhirnya ditangkap oleh pihak berwenang negara lain . disinilah peran panglima laot tingkat Provinsi akan tampak, dengan menjadi pihak pertama yang akan menghubungi kedutaan besar Negara Indonesia untuk menegosiasikan pembebasan nelayan Aceh tersebut. Dan pada banyak kasus, permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan baik oleh lembaga ini. Pola-pola penyelesaian konflik seperti inilah yang sering dilaksanakan oleh perangkat-perangkat masyarakat nelayan pada umumnya

Seperti halnya masyarakat Aceh yang sendi-sendi kehidupannya dilandasi dengan nilai adat-istiadat serta nilai-nilai keagamaan yang kental, masyarakat nelayan juga sangat dipengaruhi dengan nilai-nilai tersebut, yang sebagiannya terlihat dari organisasi kemasyarakatan yang terdapat pada masyarakat nelayan, yaitu lembaga panglima laot.

Hukum Adat laot yang dikelola dan dijalankan oleh Lembaga panglima laot mengatur tentang tata cara kehidupan laut serta upacara-upacara kelautan yang di lakukan oleh masyarakat nelayan. Seperti Khanduri Laot dan acara-acara lain yang bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat nelayan.

Lembaga ini juga berfungsi sebagai wadah tempat perkumpulan para nelayan dan menjadi mediator atau menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa diantara nelayan.

Kedudukan Lembaga Panglima laot semakin jelas dan diakui dengan keluarnya Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 523.11/012/2005 (8 Maret 2005), yang menyebutkan bahwa mengukuhkan Panglima Laot dilakukan dalam rangka menyukseskan pembangunan subsektor perikanan, dengan tugas dan wewenang dalam kedudukannya sesuai adat membantu tugas pemerintah dalam pembangunan bidang subsektor perikanan dan masyarakat nelayan dalam arti luas.

Dalam pelaksanaan Rencana Strategis Panglima Laot se-Aceh yang dilaksanakan Panglima Laut Provinsi NAD pada 9-12 Desember 2006 di Banda Aceh, seluruh fungsi dan peran yang menjadi tanggung jawab Panglima Laot juga dibahas secara detail. Ada beberapa bahasan spesifikasi program, yang mencakup:

(a) penguatan masyarakat nelayan,

(b) penguatan hukum adat laot masyarakat nelayan,

(c) pemberdayaan

(d) program beasiswa untuk pelajar dari kalangan nelayan miskin, dan

(e) memelihara lingkungan dari kerusakan.

Ada dua hal yang tergambar, bahwa:

(1) adat laot berusaha untuk tidak melahirkan sengketa dalam pengelolaan sumberdaya –kalaupun ada, kemudian diupayakan melalui penegakan hukum adat laot agar bisa diminimalisir dan dihilangkan;

(2) secara khusus, dalam adat laot ditempatkan secara khusus masalah lingkungan hidup dalam salah satu pengaturannya.

Jadi jelas, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, secara khusus dibahas oleh Panglima Laot sebagai sesuatu yang sangat penting dalam konteks memelihara lingkungan dari kerusakan demi kesinambungan dan keberlanjutan.



Referensi :

· http://info.kapetseram.com/?p=100

· http://acehoceancoral.org/artikel/peran-dan-fungsi-panglima-laot

· http://himasio-unsyiah.blogspot.com/2011/11/fungsi-dan-peran-lembaga-panglima-laot.html

· http://togadebataraja.blogspot.com/2011/04/pengertian-marga-pada-masyarakat-batak.html

· http://jurnalhijau.wordpress.com/

· http://www.wwf.or.id/?24800/Semangat-dari-Aceh-Panglima-Laot-dan-dukungan-perikanan-nusantara

· http://www.kewang-haruku.org/sasi.html

· http://www.scribd.com/doc/36954335/awig-awig-adat











Tidak ada komentar:

Posting Komentar