Pages

Selasa, 17 Desember 2013

Studi Kasus Pencemaran Laut

I PENDAHULUAN 

Tumpahan minyak mentah yang terjadi di perairan, mengakibatkan pencemaran di daerah lingkungan pantai. Hal ini karena daerah tersebut merupakan daerah di tepi laut yang masih mendapat pengaruh keadaan laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air laut (Triatmodjo,1999). Tumpahan minyak mentah yang terbawa bersama arus pasang dapat terpenetrasi dan terakumulasi di dalam tanah (Pezeshki dkk., 2000). Minyak mentah adalah campuran senyawa hidrokarbon yang terbentuk berjuta tahun silam, yang berasal dari fosil tumbuhan, hewan, atau plankton selama jutaan tahun di dalam tanah atau pun di dasar lautan (Wymer, 1972). 
Lingkungan Pantai Surabaya Timur merupakan daerah tepi laut yang rawan terkena tumpahan/pencemaran minyak mentah, mengingat daerah tersebut masuk wilayah laut yang banyak dilalui oleh pelayaran lalu-lintas kapal komersial baik lokal maupun internasional serta kapal milik Angkatan Laut Indonesia. Untuk mengatasi tumpahan minyak mentah, telah ditempuh banyak metode, baik metode fisika, kimia, maupun bioremediasi.  Hal serupa juga terjadi pada metode kimia. Zat-zat kimia yang digunakan untuk menanggulangi tumpahan minyak sering kali jauh lebih beracun daripada minyak itu sendiri (Burridge dan Shir, 1995 dalam Wrabel dan Peckol, 2000). 

II TINJAUAN PUSTAKA 

2.1 Karakteristik Minyak Bumi (crude oil) Limbah minyak yang berasal dari minyak mentah (crude oil) terdiri dari ribuan konstituen pembentuk yang secara struktur kimia dapat dibagi menjadi lima famili: 
1. Hidrokarbon jenuh (saturated hydrocarbons), merupakan kelompok minyak yang dicirikan dengan adanya rantai atom karbon (bercabang atau tidak bercabang atau membentuk siklik) berikatan dengan atom hidrogen, dan merupakan rantai atom jenuh (tidak memiliki ikatan ganda). Termasuk dalam kelompok ini adalah golongan alkana (paraffin), yang mewakili 10-40 % komposisi minyak mentah. Senyawa alkana bercabang (branched alkanes) biasanya terdiri dari alkana bercabang satu ataupun bercabang banyak (isoprenoid), contoh dari senyawa ini adlah pristana, phytana yang terbentuk dari sisa-sisa pigment chlorofil dari tumbuhan. 
Kelompok terakhir dari famili ini adalah napthana (Napthenes) atau disebut juga cycloalkanes atau cycloparaffin. Kelompok ini secara umum disusun oleh siklopentana dan siklohexana yang masanya mewakili 30-50% dari massa total minyak mentah. 

2. Aromatik (Aromatics). Famili minyak ini adalah kelas hidrokarbon dengan karakteritik cincin yang tersusun dari enam atom karbon. Kelompok ini terdiri dari benzene beserta turunannya (monoaromatik dan polyalkil), naphtalena (2 ring aromatik), phenanthren (3 ring), pyren, benzanthracen, chrysen (4 ring) serta senyawa lain dengan 5-6 ring aromatic. Aromatik ini merupakan komponen minyak mentah yang paling beracun, dan bisa memberi dampak kronik (menahun, berjangka lama) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Hampir kebanyakan aromatik bermassa rendah (low-weight aromatics), dapat larut dalam air sehingga meningkatkan bioavaibilitas yang dapat menyebabkan terpaparnya organisma didalam matrik tanah ataupun pada badan air. 
Jumlah relative hidrokarbon aromatic didalam mnyak mentah bervariasi dari 10-30 %. 

3. Asphalten dan Resin. Selain empat komponen utama penyusun minyak tersebut di atas, minyak juga dikarakterisasikan oleh adanya komponen-komponen lain seperti aspal (asphalt) dan resin (5-20 %) yang merupakan komponen berat dengan struktur kimia yang kompleks berupa siklik aromatic terkondensasi dengan lebih dari lima ring aromatic dan napthenoaromatik dengan gugus-gugus fungsional sehingga senyawa-senyawa tersebut memiliki polaritas yang tinggi. 

4. Komponen non-hidrokarbon. Kelompok senyawa non-hidrokarbon terdapat dalam jumlah yang relative kecil, kecuali untuk jenis petrol berat (heavy crude). Komponen non-hidrokarbon adalah nitrogen, sulfur, dan oksigen, yang biasanya disingkat sebagai NSO. Biasanya sulphur lebih dominant disbanding nitrogen dan oxygen, sebaga contoh, minyak mentah dari Erika tanker mengandung kadar S, N dn O berturut-turut sebesar 2.5, 1.7, dan 0.4 % (Baars, 2002). 

5. Porphyrine. Senyawa ini berasal dari degradasi klorofil yang berbentuk komplek Vanadium (V) dan Nikel (Ni). 


2.2 Proses transformasi oil spill di laut Ketika oil spill terjadi di lingkungan laut, minyak akan mengalami serangkaian perubahan/pelapukan (weathering) atas sifat fisik dan kimiawi. Sebagian perubahan tersebut mengarah pada hilangnya beberapa fraksi minyak dari permukaan laut, sementara perubahan lainnya berlangung dengan masih terdapatnya bagian material minyak di permukaan laut. Meskipun minyak yang tumpah pada akhirnya akan terurai/terasimilisi oleh lingkungan laut, namun waktu yang dibutuhkan untuk itu tergantung pada karakteristik awal fisik dan kimiawi minyak dan proses peluruhan (weathering) minyak secara alamiah. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi perubahan sifat minyak adalah: 
1. Karaterisik fisika minyak, khususnya gravitasi spesifik, viskositas dan rentang didih; 
2. Komposisi dan karakteristik kimiawi minyak; 
3. Kondisi meteorologi (sinar matahari (fotooksidasi), kondisi oseanograpi dan temperatur udara); dan 
4. Karakteristik air laut (pH, gravitasi spesifik, arus, temperatur, keberadaan bakteri, nutrien, dan oksigen terlaut serta padatan tersuspensi). Adapun proses fisika-kimia yang bertanggungjawab didalam transformasi hidrokarbon minyak bumi antara lain adalah : penyebaran (spreading), penguapan (evaporation), disperse (dispersion), emulsifikasi (emulsification), disolusi, sedimentasi, dan oksidasi. 

2.3 Dampak Terhadap Lingkungan Pesisir dan Perairan Laut Polutan dari jenis minyak mentah (crude oil) yang di Perairan Kalimantan Timur sering manjadi issue- issue lingkungan sehinnga dapat menjadi ancaman daerah terkait dengan iklim investasi. Adapun dampak dari limbah dalam bentuk tumpahan minyak ini secara spesifik menunjukan pengaruh negatif yang penting terhadap lingkungan pesisir dan perairan laut terutama melalui kontak langsung dengan organisma perairan, effek langsung terhadap kegiatan perikanan termasuk pariwisata laut dan efek tidak langsung melalui gangguan terhadap lingkungan. 

III METODOLOGI 
3.1 Bahan Penelitian Dalam penelitian ini digunakan nutrien organik Petroganik (produk komersial PT X) yang bahan dasarnya dari daun dan kotoran binatang, sebagai sumber makanan mikroba tanah. Minyak mentah yang digunakan adalah minyak mentah (crude oil) yang diambil dari sumber minyak mentah Pertamina Cepu Jawa Tengah. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan peristiwa-peristiwa tumpahan minyak, di mana sebagian besar yang tertumpah adalah minyak mentah. 
3.2 Lokasi Penelitian Tempat penelitian di daerah pantai wilayah Surabaya Timur, penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret–Juni 2006. 
3.3 Cara Kerja dan Variabel Percobaan Dalam penelitian ini diberlakukan rancangan acak lengkap. Jika dilakukan sejumlah t perlakuan sebanyak kali untuk setiap perlakuan, maka rancangan acak lengkap membutuhkan alokasi nt percobaan secara acak kepada nt satuan percobaan. Dengan melakukan pengacakan, maka alokasi eksperimen maupun urutan eksperimen yang akan dilakukan bisa ditentukan secara acak. Metode statistika mensyaratkan agar observasi (atau galat) terdistribusi secara merata. Pengacakan menjadikan syarat ini terpenuhi (Montgomery, 2001). Pada penelitian dibuat petak-petak percobaan berukuran 0,5 m × 0,5 m, di mana antara satu petak dengan petak yang lain terpisah pada jarak 0,25 meter (Gambar 1). Metode penelitian ini merujuk dari penelitian yang dilakukan Delille dkk. (2004). Untuk meneliti pengaruh peningkatan suhu terhadap proses bioremediasi, Delille dkk. berukuran 0,75 m × 0,75 m, dan antara satu petak dengan petak lainnya dipisah dengan jarak 0,5 meter. Penelitian ini terdiri atas 19 petak percobaan, yaitu 18 petak perlakuan dan 1 petak kontrol. Variabel bebas pada penelitian ini terdiri atas pemberian berbagai dosis nutrien organik (0,2; 0,3; dan 0,4 kg/petak tanah) dan perlakuan dibalik dan tidak dibalik, masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Variabel terikat pada penelian ini adalah jumlah total bakteri tanah (cfu/g tanah), kadar minyak dalam tanah (g/kg tanah), dan bioremediasi minyak (%), pengacakan perlakuan di lapangan dengan cara diundi. Gambar 1. Petak percobaan di lapangan Pengukuran Respons Pada masing-masing petak ditumpahkan minyak mentah sebanyak 1 liter, 3 hari kemudian pada masing-masing petak tersebut diberi nutrien organik dan dibalik atau tidak dibalik sesuai dengan perlakuan penelitian. Pengukuran jumlah total bakteri tanah (cfu/g) dan konsentrasi polutan minyak (kg/kg tanah) dilakukan secara berkala dengan mengambil sampel tanah setiap petak pada minggu ke-2, ke-4, dan minggu ke-6. Pengukuran pada setiap petak secara periodik merupakan respons percobaan yang diteliti. Data yang diperoleh kemudian diuji statistik dengan ANOVA, apabila ada beda nyata dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) dan uji Duncan pada taraf 5%. 

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 
Pengaruh penambahan nutrien organik terhadap jumlah total bakteri dengan perlakuan dibalik dan tidak dibalikdapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2 dan 3. Gambar-gambar tersebut menunjukkan bahwa jumlah total bakteri baik perlakuan dibalik maupun tidak dibalik meningkat sampai usia 4 minggu dan menurun pada usia 6 minggu. Secara statistik, peningkatan jumlah total bakteri berbeda nyata pada masing-masing perlakuan (a < 0,05; Tabel 1). Gambar 2 Gambar 3 4.1 Efek langsung terhadap organisme 4.1.1 Efek lethal (kematian) Di perairan lepas pantai efek tumpahan minyak sebagai B3 sering disebabkan oleh kecelakaan kapal tanker, kegiatan off-shore atau oleh rembesan alami minyak bumi dari dasar laut (oil seep), sampai saat ini belum ada laporan tentang kegiatan industri di darat yang melakukan pembuangan limbah jauh kearah perairan oseanik. Untuk kasus oil spill (tumpahan minyak), di perairan terbuka, konsentrasi minyak dibawah slick biasanya sangat rendah, dan maksimum akan berada dalam kisaran 0.1 ppm sehingga tidak menyebabkan kematian masal organisma terutama ikan-ikan akibat tumpahan minyak di perairan lepas pantai. Permasalahannya, kebanyakan kasus tumpahan minyak terjadi di perairan pantai ataupun perairan dalam (inshore). Pernah dilaporkan pada kecelakaan kapal tanker Amono Cadiz tahun 1978 di Perairan Inggris dan Perancis, populasi ikan-ikan dari jenis Pleurenectes platessa dan Solea vulgaris dilaporkan mengalami kematian massal. Resiko kematian masal akan lebih besar lagi bagi ikan-ikan di tambak ataupun di keramba serta jenis kerang-kerangan yang kemampuan migrasi untuk menghindari spill sangat rendah (Davis et al., 1984). 4.1.2 Efek sub-lethal Berbeda dengan efek lethal yang dapat dikuantifikasi dengan mudah dilapangan, efek sublethal akan lebih akurat jika dibuktikan di laboratorium. Uji laboratorium menunjukan bahwa reproduksi dan tingkah laku ikan dan kerang-kerangan dipengaruhi oleh konsentrasi minyak di air. Dengan konsentrasi yang relatif rendah (‹ 0.1 ppm), kemampuan tetas telur, tingkat kelulusan hidup, jumlah larva cacat, penutupan cangkang (pada kerang) dipengaruhi secara signifikan. Banyak jenis udang dan kepiting membangun sistem penciuman yang tajam untuk mengarahkan banyak aktifitasnya, akibatnya eksposure terhadap bahan B3 menyebabkan udang dan kepiting mengalami gangguan didalam tingkah lakunya seperti kemampuan mencari, memakan, dan kawin (GESAMP, 1993). 4.1.3 Efek terhadap plankton Stadium planktonik dari telur dan larva ikan, moluska dan crustaceae memiliki kerentanan yang tinggi dari kontak secara langsung dengan B3. Pada kasus yang ekstim seperti oil spill yang terjadi saat perang Teluk (1991-1992), 75 % stock udang menurun. Kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika spillage bertepatan dengan periode memijah (spawning) dan lokasi yang terkena dampak adalah daerah asuhan (nursery ground). Dampak terhadap stadia planktonik dari organisma juga akan semakin tinggi ketika bersamaan waktunya dengan peride pemijahan serta masuknya spesies yang peruraya ke daerah tertutup/semi tertutup seperti teluk yang tercemar. 4.1.4 Efek terhadap ikan migrasi Secara umum, ikan akan dapat menhindari bahan pencemar dan efek jangka panjang terhadap populasi lokal dapat dihindari. Uniknya beberapa jenis ikan yang bersifat teritorial, ikan akan harus kembali kedaerah asal untuk mencari makan dan berkembang biak kendatipun daerah yang dituju adalah daerah yang terkontaminasi B3. Hal ini akan meningkatkan resiko terhadap ikan migrasi. 4.2 Efek langsung terhadap kegiatan perikanan 4.2.1 Tainting (bau lantung) Tainting dapat terjadi pada jenis-jenis ikan keramba dan tambak serta jerang-kerangan yang tidak memiliki kemampuan bergerak menjauhi bahan pencemar sehingga menjadi unfit untuk dijual karena organisma yang tercemar oleh B3 jenis minyak akan menghasilkan bau dan rasa yang tidak enak ataupun perubahan warna pada jaringannya. Biasanya, spesies dengan kandungan lemak tinggi akan lebih mudah menjadi tainted dibanding ikan dengan lean-muscle species. Bau dan rasa lantung pada organisma akan hilang melalui proses metabolisme (depuration) dengan kecepatan yang berbeda untuk setiap jenis limbah, spesies dan kondisi optimal hidup bagi spesies tersebut (Baker et al., 1990). 4.2.2 Budidaya Untuk ukuran kecil dari suatu spillage ( ex. 50 ton), dampak terhadap kegiatan budidaya akan sangat besar, selain dari organisma yang dibudidayakan akan terkena dampak langsung, beberapa peralatan terkait dengan kegiatan budidaya seperti jaring dan temali menjadi tidak dapat digunakan lagi. Selain itu stock juga dapat dipengaruhi jika ada intake air laut yang digunakan mensupplai kebutuhan stock. 4.2.3 Efek terhadap ekosistem Ekosistem pesisir dan laut (mangrove, delta sungai, estuari, padang lamun, dan terumbu karang) memiliki fungsi dan peran yang penting secara ekologis, ekonomi dan juga sosial budaya. Secara ekologi, ekosistem tersebut merupakan daerah perkembangbiakan, penyedia habitat dan makanan untuk organisma dewasa serta mendukung jejaring makanan (ex. Input nutrient dari daun-daun mati) bagi ekosistem ataupun habitat lain disekitarnya. Tekanan dari masuknya limbah B3 akan mempengaruhi peruntukan sistem-sistem tersebut, ditambah lagi vulnerabilitas dari ekosistem ekosistem tersebut sangat tinggi terhadap bahan beracun berbahaya disamping natural attenuation (dispertion and dilution) pada beberapa ekosistem seperti mangrove, estuari, padang lamun dan daerah dangkal di pantai relatif lebih lambat (IUNC, 1993). • Pengaruh terhadap lingkungan laut. Beberapa efek tumpahan minyak di laut dapat di lihat dengan jelas seperti pada pantai menjadi tidak indah lagi untuk dipandang, kematian burung laut, ikan, dan kerang-kerangan, atau meskipun beberapa dari organisme tersebut selamat akan tetapi menjadi berbahaya untuk dimakan. Efek periode panjang (sublethal) misalnya perubahan karakteristik populasi spesies laut atau struktur ekologi komunitas laut, hal ini tentu dapat berpengaruh terhadap masyarakat pesisir yang lebih banyak menggantungkan hidupnya di sector perikanan dan budi daya, sehingga tumpahan minyak akan berdampak buruk terhadap upaya perbaikan kesejahteraan nelayan. • Pengaruh minyak pada komunitas laut. Tumpahan minyak yang tejadi di laut terbagi kedalam dua tipe, minyak yang larut dalam air dan akan mengapung pada permukaan air dan minyak yang tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Minyak yang mengapung pada permukaan air tentu dapat menyebabkan air berwarna hitam dan akan menggangu organisme yang berada pada permukaan perairan, dan tentu akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang akan digunakan oleh fitoplankton untuk berfotosintesis dan dapat memutus rantai makanan pada daerah tersebut, jika hal demikian terjadi, maka secara langsung akan mengurangi laju produktivitas primer pada daerah tersebut karena terhambatnya fitoplankton untuk berfotosintesis. Sementara pada minyak yang tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai, akan mengganggu organisme interstitial maupun organime intertidal, organisme intertidal merupakan organisme yang hidupnya berada pada daerah pasang surut, efeknya adalah ketika minyak tersebut sampai ke pada bibir pantai, maka organisme yang rentan terhadap minyak seperti kepiting, amenon, moluska dan lainnya akan mengalami hambatan pertumbuhan, bahkan dapat mengalami kematian. Namun pada daerah intertidal ini, walaupun dampak awalnya sangat hebat seperti kematian dan berkurangnya spesies, tumpahan minyak akan cepat mengalami pembersihan secara alami karena pada daerah pasang surut umumnya dapat pulih dengan cepat ketika gelombang membersihkan area yang terkontaminasi minyak dengan sangat cepat. Sementara pada organisme interstitial yaitu, organisme yang mendiami ruang yang sangat sempit di antara butir-butir pasir tentu akan terkena dampaknya juga, karena minyak-minyak tersebut akan terakumulasi dan terendap pada dasar perairan seperti pasir dan batu-batuan, dan hal ini akan mempengaruhi tingkah laku, reproduksi, dan pertumbuhan dan perkembangan hewan yang mendiami daerah ini seperti cacing policaeta, rotifer, Crustacea dan organisme lain. • Perilaku Minyak di Laut Senyawa Hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi berupa benzene, touleuna, ethylbenzen, dan isomer xylena, dikenal sebagai BTEX, merupakan komponen utama dalam minyak bumi, bersifat mutagenic dan karsinogenik pada manusia. Senyawa ini bersifat rekalsitran, yang artinya sulit mengalami perombakan di alam, baik di air maupun didarat, sehingga hal ini akan mengalami proses biomagnetion pada ikan ataupun pada biota laut lain. Bila senyawa aromatic tersebut masuk ke dalam darah, akan diserap oleh jaringan lemak dan akan mengalami oksidasi dalam hati membentuk phenol, kemudian pada proses berikutnya terjadi reaksi konjugasi membentuk senyawa glucuride yang larut dalam air, kemudian masuk ke ginjal (Kompas, 2004). Ketika minyak masuk ke lingkungan laut, maka minyak tersebut dengan segera akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia. Diantaran proses tersebut adalah membentuk lapisan ( slick formation ), menyebar (dissolution), menguap (evaporation), polimerasi (polymerization), emulsifikasi (emulsification), emulsi air dalam minyak ( water in oil emulsions ), emulsi minyak dalam air (oil in water emulsions), fotooksida, biodegradasi mikorba, sedimentasi, dicerna oleh planton dan bentukan gumpalan ter (Mukhstasor, 2007) Hampir semua tumpahan minyak di lingkungan laut dapat dengan segera membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan. Hal ini dikarenakan minyak tersebut digerakkan oleh pergerakan angin, gelombang dan arus, selain gaya gravitasi dan tegangan permukaan. Beberapa hidrokarbon minyak bersifat mudah menguap, dan cepat menguap. Proses penyebaran minyak akan menyebarkan lapisan menjadi tipis serta tingkat penguapan meningkat. Hilangnya sebagian material yang mudah menguap tersebut membuat minyak lebih padat/ berat dan membuatnya tenggelam. Komponen hidrokarbon yang terlarut dalam air laut, akan membuat lapisan lebih tebal dan melekat, dan turbulensi air akan menyebabkan emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Ketika semua terjadi, reaksi fotokimia dapat mengubah karakter minyak dan akan terjadi biodegradasi oleh mikroba yang akan mengurangi jumlah minyak. Proses pembentukan lapisan minyak yang begitu cepat, ditambah dengan penguapan komponen dan penyebaran komponen hidrokarbon akan mengurangi volume tumpahan sebanyak 50% selama beberapa hari sejak pertama kali minyak tersebut tumpah. Produk kilang minyak, seperti gasoline atau kerosin hamper semua lenyap, sebaliknya minyak mentah dengan viskositas yang tinggi hanya mengalami pengurangan kurang dari 25%. 4.3 Penanganan tumpahan minyak (oil spill) Didalam tulisannya diharian Republika, Syakti (23 Oktober 2005) menulis bahwa setiap tahunnya lebih dari 3 miliar metrik ton minyak mencemari dari aktivitas antrofogenik (baca: manusia dan industri-nya) di mana hampir 40 persennya berasal dari kegiatan tanker minyak (data dikutip dari International Maritim Organization). Pernah dicatat dalam sejarah di perairan selat Malaka, misalnya, sekitar 4 juta liter minyak tertumpah dan mengakibatkan pencemaran laut pada kasus kecelakaan kapal tanker Showa Maru. Bencana yang skalanya ''catastrophique'', tabrakan tanker Maersk Navigator dan Sanko Honour (1,8 juta barel), adalah contoh lain kejadian tumpahan minyak di Indonesia yang masuk di dalam daftar hitam pencemaran laut oleh petroleum hidrokarbon di dunia. Sampai saat ini belum ada suatu model pengorganisasian ataupun alat yang mampu diaplikasikan di setiap kasus pencemaran laut oleh minyak bumi. Mekanisme penanganan pencemaran minyak di laut baik melalui peraturan serta kebijakan yang terkait termasuk di dalamnya program action plan belum mampu menjawab permasalahan dengan memuaskan. Paradigma out-of-sight and out-of-mind dalam filosofi penanggulangan tumpahan minyak akhirnya menjadi status quo dan harus segera kita tinggalkan. Secara umum penanganan tumpahan minyak dilakukan dengan salah satu atau ketiga metode sebagai berikut: Penanganan secara fisika, adalah perlakuan pertama dengan cara melokalisasi tumpahan minyak menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer dengan perangkat pemompa (oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima "reservoar" baik dalam bentuk tangki ataupun balon. Salah satu kelemahan dari metoda adalah hanya dapat dipakai secara efektif di perairan yang memiliki hidrodinamika air yang rendah (arus, pasang-surut, ombak, dll) dan cuaca yang tidak ekstrem. Aplikasi metode ini juga sulit dilakukan di pelabuhan karena dapat mengganggu aktivitas keluar dan masuk kapal-kapal dari dan menuju pelabuhan. Kendala lain juga dijumpai karena belum seluruh pelabuhan di Indonesia memiliki Local Cotingency Plan for Oil Pollution, semacam manajemen penanggulangan bahaya tumpahan minyak. Teknik lain (secara fisika) yang lazim digunakan adalah pembakaran yang dari sudut pandang ekologis hanya memindahkan masalah pencemaran ke udara. Penanganan secara kimia, awalnya penggunaan metode ini kurang dikehendaki, aplikasinya untuk menangani tumpahan minyak Torrey Canyon di perairan Inggris tahun 1967 dianggap menimbulkan kerusakan lingkungan terutama dikarenakan dispersan, nama agen kimia yang digunakan untuk penanganan tumpahan minyak, maupun produk yang terbentuk dari pencampuran minyak dan dispersan, bersifat racun yang lebih berbahaya dari minyak mentah yang tersebar di perairan itu sendiri. Untungnya, dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun, pengembangan riset agen dispersan menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan, salah satu contoh dari dispersan ini adalah COREXIT 9500 yang diproduksi oleh Exxon Energy Chemical yang sukses diaplikasikan untuk membersihkan tumpahan minyak tabrakan kapal tanker Evoikos dan Orapin Global di Selat Malaka. 4.4 Teknologi Bioremediasi Upaya pengolahan limbah B3 baik di darat (tanah dan air tanah) ataupun di laut telah banyak dilakukan dengan menggunakan tehnik ataupun metoda konvensional dalam mengatasi pencemaran seperti dengan cara membakar (incinerasi), menimbun (landfill), menginjeksikan kembali sludge keformas minyak (slurry fracture injection) dan memadatkan limbah (solidification). Teknologi-teknologi ini dianggap tidak efektif dari segi biaya (cost effective technology), waktu (time consuming) dan juga keamanan (risk). Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan pencemar dari lingkungan. Kelebihan teknologi ini ditinjau dari aspek komersil adalah relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan yang relatif lebih murah dan bersifat fleksibel. Teknik pengolahan limbah jenis B3 dengan bioremediasi umumnya menggunakan mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri) sebagai agen bioremediator. Pendekatan umum yang dilakukan untuk meningkatkan kecepatan biotransformasi ataupun biodegradasi adalah dengan cara: (i) seeding, atau mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik) dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi) dan (ii) feeding, atau dengan memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan aerasi (bioventing). Penanganan bioremediasi dapat dilakukan secara in situ ataupun ex situ, faktor-faktor penting untuk menjamin kondisi mikroorganisma dapat tumbuh dan berkembangbiak adalah ketersediaan oksigen, kandungan nutrisi, pH dan kelembaban. Kelebihan spesifik dari senyawa hidrokarbon dibanding bahan pencemar lain (ex. Logam berat) adalah penggunaannya sebagai sumber karbon sebagai pembentuk biomassa dan sumber energi untuk melangsungkan metabolisme oleh mikroorganisma. Nitrogen dan Phosphore adalah nutrisi utama bagi organisme dan didalam air laut kedua unsur ini adalah faktor pembatas pertumbuhan mikroorganisma. Peluang kedepan adalah pengembangan green business yang berbasis pada teknologi bioremediasi dengan system one top solution (close system) dan dengan pendekatan multi-proses remediation technologies, artinya pemulihan (remediasi) kondisi lingkungan yang terdegradasi dapat diteruskan sampai kepada kondisi lingkungan seperti kondisi awal sebelum kontaminasi ataupun pencemaran terjadi. Usaha mencapai total grenning program ini dapat dilanjutkan dengan rehabilitasi lahan dengan melakukan kegiatan phytoremediasi dan penghijauan (vegetation establishement) untuk lebih efektif dalam mereduksi, mengkonrol atau bahkan mengeliminasi B3 hasil bioremediasi kepada tingkatan yang sangat aman lagi buat lingkungan. Dengan keseluruhan rangkaian proses dari mulai limbah dikeluarkan, bioremediasi, phytoremediasi dan pembentukan vegetasi adalah greening program yang merupakan bentuk pengelolaan limbah B3 secara terpadu (integrated waste management). Biasanya greening program juga merupakan salah satu bentuk aktifitas community development dari perusahaan-perusahan. Untuk wilayah pesisir dan pantai greening program dapat berupa penanaman kembali bibit mangrove dan vegetasi pantai lain ataupun program lain seperti artificial reef, fish shelter ataupun reef transplantation. Bagi industri, penanganan lahan tercemar dengan teknologi bioremediasi memberikan nilai stategis ditinjau dari sudut pandang: (i) Effisiensi, kesadaran bahwa banyak sumber daya alam kita adalah non-renewable resources (ex. minyak dan gas), dengan teknologi ramah lingkungan yang cost-effective (seperti bioremediasi) akan secara langsung berimplikasi kepada pengurangan biaya pengolahan. Biaya tehnologi Bioremediasi di Indonesia berada didalam kisaran 20-200 USD per meter kubik bahan yang akan diolah (tergantung dari jumlah dan konsentrasi limbah awalserta metoda aplikasi), jauh lebih murah dari harga yang harus dikeluarkan dengan teknologi lain seperti incinerasi dan soil washing (150-600 USD). (ii) Lingkungan, ketika suatu perusahaan begitu konsern dengan lingkungan, diharapkan akan terbentuk sikap positif dari pasar yang pada akhirnya seiring dengan kesadaran lingkungan masyarakat akan mengkondisikan masyarakat untuk lebih memilih “green Industry” dibanding industri yang berlabel “red industri” atau mungkin “black industry”, evaluasi kinerja industri dalam pengelolaan lingkungan hidup (Proper) sudah mulai dilakukan oleh pemerintah (KLH), diharapkan kedepan, akan terus dikembangkan menjadi pemberian sertifikasi ISO 14001, hasilnya adalah perluasan pasar dengan "greening image". (iii) Environmental Compliance, ketaatan terhadap peraturan lingkungan menunjukan bentuk integrasi total dan aktif dari industri terhadap regulasi yang dibangun oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat luas. Sikap ini juga akan memberi penilai positif dari masyarakat selaku konsumen terhadap perusahaan tertentu. Seiring dengan penegakan hukum di Indonesia yang iklimnya semakin membaik kepatuhan akan peraturan yang ditetapkan oleh regulator akan menjadi sebuah tuntutan yang tidak dapat dihindarkan. Regulator, dalam hal ini adalah pemerintah, melalui Kementrian Lingungan Hidup, misalnya, saat ini sudah membuat sebuah payung hukum yang mengatur standar baku kegiatan Bioremediasi untuk mengatasi permasalahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta bentuk pencemaran lainnya (logam berat dan pestisida) yang disusun dan tertuang didalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.128 tahun 2003 tentang tatacara dan persyaratan teknis dan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis (Bioremediasi). Terakhir, didalam aplikasi teknologi bioremediasi, parsisipasi aktif dari kelompok masyarakat dapat terakomodisir guna mendukung upaya-upaya dalam pengelolaan dan penanganan limbah hasil kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terutama dalam tahapan rehabilitasi lahan terbuka akibat eksplorasi dan eksploitasi SDA. Bentuk disseminasi publik juga dapat dikemas dalam bentuk pelatihan dan tranfer teknologi agar applikasi bioremediasi kepada masyarakat sebagai share holder (pola kemitraan), bersama-sama pemerintah dapat mengontrol kegiatan monitoring dan evaluasi dari kegiatan bioremediasi dan rehabilitasi lahan. Produk akhir dari kegiatan bioremediasi dapat berupa air terproduksi yang sudah memenuhi baku mutu lingkungan dan padatan (solid), produk yang dapat digunakan untuk bahan pembentuk batu concrete untuk bahan bangunan dan pupuk. Terkait dengan pengembangan dan pengelolaan lanskap pada area pertambangan dan area pasca tambang dapat dilakukan dengan cara reklamasi lahan dan penanaman ulang (revegetation). Untuk meningkatkan kualitas tanah pada lahan yang terdegradasi tersebut dapat dilakukan dengan penimbunan tanah organik, top soil atau tanah tambang yang telah ditreatment dengan teknik bioremediasi. Konsep ekologis yang memperhatikan hubungan antara kondisi tanah pada setiap tapak, kesesuaian lahan untuk penggunaan tanaman tertentu, pemilihan jenis tanaman lokal yang diketahui telah memiliki daya adaptasi tinggi akan menjadi kunci utama dari keberhasilan program revegetasi. 

Daftar Pustaka Arifin, H.S., M. Yani, F. Aribowo, and A.M. Fauzi. 2004. Bioremediation: A Case Study in East Kalimantan, Indonesia. Proceeding the 1st COE International Symposium “Environmental Degradation and Ecosystem Restoration in East Asia” Tokyo University – Japan. 9 p. Baker, J. M., Clark, R. B., Kingston, P. F. and Jenkins, R. H. (1990). Natural Recovery of Cold Water Marine Environments after an Oil Spill. 13th AMOP Seminar, June 1990. Cookson, J.T. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. McGraw-Hill, Inc. Toronto. Davis, W. P., Hoss, D. E., Scott, G. I. and Sheridan, P.F. (1984). Fisheries resource impacts from spills of oil or hazardous substances. In: Cairns, J. and Buikema, A. L. (eds.) Restoration of Habitats Impacted by Oil Spills. Ecological Steering Group on the Oil Spill in Shetland (1994). The Environmental Impact of the Wreck of the Braer. The Scottish Office, Edinburgh. GESAMP (IMO/FAO/UNESCO/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP Joint Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine Pollution) (1993). Impact of Oil and Related Chemicals and Wastes on the Marine Environment. UNEP. Referensi : Fakhruddin.2004.Dampak Tumpahan Minyak Pada Biota Laut. Jakarta : Kompas Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta : PT Pradnya Paramita Sarodji, Heryadi.2009.Kebocoran Ladang Montara Diselidiki. Jakarta : Media Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar